Setiap kali bulan Ramadhan tiba, Dani selalu merasakan kegelisahan yang tak beralasan. Di saat orang-orang menyambut bulan suci dengan suka cita, ia justru diliputi rasa was-was, cemas, dan kesepian.

Ketiga anaknya yang polos sering menatapnya dengan penuh keheranan. Mereka belum memahami mengapa ayah mereka tiba-tiba berubah murung, mengapa ada bayangan duka yang tak bisa disembunyikan dari wajahnya. Bagi mereka, Ramadhan seharusnya membawa kebahagiaan—puasa bersama, tarawih, dan menjelang hari kemenangan. Tapi bagi Dani, Ramadhan adalah pengingat atas luka-luka yang belum juga sembuh.

Sejak pernikahannya, hidup Dani dan keluarganya tak pernah benar-benar tenang. Konflik datang silih berganti, kebanyakan bukan berasal dari dalam rumahnya, tetapi dari pihak luar—tetangga, saudara, bahkan orang-orang yang seharusnya mendukung mereka.

Yang paling menyakitkan adalah ketika keluarganya sendiri lebih berpihak pada orang lain. Setiap kali ada perbedaan pendapat, setiap kali ada fitnah yang diarahkan pada Dani atau istrinya, mereka selalu dipaksa untuk mengalah. Seolah-olah kehormatan mereka tak lebih penting dibanding menjaga citra baik keluarga besar.

Dan puncaknya selalu terjadi di hari Idul Fitri.

Hari di mana semua orang merayakan kemenangan setelah sebulan penuh berpuasa. Hari di mana seharusnya setiap luka dimaafkan, setiap hati disucikan. Tapi bagi Dani dan istrinya, Idul Fitri selalu menjadi saat yang paling menyakitkan.

Bukan karena mereka tak ingin memaafkan, tetapi karena setiap tahun, mereka dipaksa meminta maaf kepada orang-orang yang justru telah menyakiti mereka.

Seakan-akan semua fitnah, semua perlakuan tidak adil yang mereka terima, semua luka yang mereka tanggung, tak ada artinya. Seakan-akan mereka lah yang selalu bersalah.

Dani tahu, mungkin ini hanya perasaan mereka saja. Mungkin ini hanya ketakutan yang berlebihan. Tapi ketika bertahun-tahun menghadapi sikap dingin keluarga, tekanan yang terus-menerus datang, dan perlakuan tidak adil yang terus berulang, sulit rasanya untuk berpikir bahwa dunia masih berpihak pada mereka.

Saat melihat rumah-rumah tetangga yang sebaya dengannya, Dani tak bisa menahan diri untuk membandingkan. Mereka juga memiliki anak-anak kecil, sama seperti dirinya. Tapi mengapa rumah mereka selalu ramai dengan kunjungan keluarga? Mengapa di rumah mereka terdengar tawa dan canda?

Sementara rumah Dani?

Sepi.

Jarang sekali ada keluarga yang datang berkunjung. Bahkan ketika mereka berinisiatif untuk bersilaturahmi, mereka tetap merasa asing di tengah keluarga sendiri.

Di setiap pertemuan keluarga, Dani dan istrinya selalu merasa seperti tamu yang tak diundang. Seperti orang luar yang kebetulan hadir di tengah-tengah kumpulan orang-orang yang seharusnya menjadi bagian dari mereka.

"Mungkin kita memang bukan bagian dari mereka," gumam Dani dalam hati.

Dan di setiap akhir Ramadhan, sebelum gema takbir berkumandang, Dani selalu bertanya pada dirinya sendiri, "Sampai kapan semua ini akan terus terjadi?"

Namun, meskipun hatinya terus dipenuhi luka, Dani tetap mencoba tersenyum di depan anak-anaknya. Karena bagaimanapun, ia tidak ingin mereka tumbuh dengan perasaan yang sama.

Jika dunia tidak memberi mereka kehangatan, maka setidaknya, Dani akan memastikan bahwa keluarganya tetap memiliki satu sama lain.