Di sudut kota kecil, hidup seorang pria bernama Raka. Ia bukan pemalas, bukan pengangguran. Ia bekerja, berusaha sekuat tenaga, tetapi pekerjaannya sebagai tukang servis elektronik panggilan tidak selalu menghasilkan uang. Kadang dalam sehari ia bisa mendapat cukup untuk makan keluarga, kadang seminggu penuh tanpa ada pelanggan yang datang.

Malam itu, Raka duduk di depan rumah kontrakannya yang sempit, menatap bulan yang menggantung di langit. Perutnya kosong, begitu juga perut anak-anaknya.

Di dalam rumah, istrinya, Sinta, mencoba mengalihkan perhatian anak-anak dengan dongeng seadanya. Suaranya lembut, tapi Raka tahu, dalam hati Sinta juga menangis.

"Pak, besok kita makan apa?" suara anak sulungnya, Rendi, menyelinap ke dalam pikirannya.

Raka menghela napas panjang. Ia bukan ayah yang tak bertanggung jawab. Ia bekerja. Ia berusaha. Tapi rezeki kadang seperti angin, datang dan pergi tanpa bisa ditebak.

Akhirnya, dengan berat hati, ia meminta Rendi pergi ke rumah ibunya yang tak jauh dari sana. "Minta sebutir telur dan mie, Nak. Bilang ke nenek, kita cuma butuh itu malam ini."

Rendi menurut. Tapi ketika ia kembali, wajahnya tampak lesu. Tangannya menggenggam sebungkus mie instan dan sebutir telur, tapi matanya berkaca-kaca.

"Nenek kasih, tapi katanya kita cuma datang kalau butuh. Kalau punya uang, gak pernah kasih ke nenek," katanya lirih.

Raka terdiam.

Hatinya seperti dihantam ribuan jarum. Ia bekerja keras, bukan peminta-minta. Tapi jika bahkan ibunya sendiri berpikir demikian, apa yang bisa ia lakukan?

Di Antara Bingkisan dan Lapar

Beberapa hari berlalu. Raka masih tetap bekerja, membawa tas peralatannya ke sana kemari, berharap ada yang butuh jasanya. Tapi tetap saja, hari-hari berlalu tanpa ada panggilan, tanpa ada pemasukan.

Suatu sore, ia mengajak Sinta dan anak-anak keluar, sekadar mencari angin. Mereka berjalan kaki, menyusuri gang-gang kecil yang mulai sepi menjelang magrib.

Saat melewati rumah ibunya, ia melihat ada acara syukuran di rumah tetangga. Banyak orang berkumpul, termasuk adiknya, kakak ipar dan anaknya.

Tepat ketika mereka tiba di depan rumah ibu, Raka melihat kakak ipar dan anaknya membawa bingkisan dari acara syukuran itu. Mata anak-anaknya berbinar, berharap bisa ikut menikmati makanan di dalamnya.

Kakak ipar mengajak anak-anak saya, lalu membuka bingkisannya.

"Ayo, kita lihat ada apa di dalam," katanya ceria.

Anak-anak Raka berdiri di dekat mereka, menatap penuh harap. Tapi detik berikutnya, sesuatu yang pahit terjadi.

Ketika anak kakak ipar membuka bingkisan itu di depan anak-anak Raka—dan beberapa menit kemudian, seorang ODGJ lewat di depan rumah.

Tanpa ragu, Kakak ipar dan ibu segera menyeru memberikan satu bingkisan kepada orang asing itu.

Anak-anak Raka hanya bisa melongo.

Mereka tidak mengerti mengapa mereka, yang lapar dan berdiri di sana, tidak diberi sepotong pun dari makanan itu.

Raka mengepalkan tangannya, menahan gejolak di dadanya. Ia tidak meminta. Ia tidak mengemis. Tapi mengapa dunia seakan menutup pintu untuknya dan keluarganya?

Antara Dendam dan Harapan

Malam itu, Raka tidak bisa tidur. Di sampingnya, Sinta menahan isak.

"Kenapa semua orang begitu kejam pada kita?" bisiknya.

Raka tak bisa menjawab. Ia hanya meraih tangan istrinya dan menggenggamnya erat.

Dalam hatinya, ia berjanji.

Ia tidak akan membiarkan anak-anaknya tumbuh dalam keadaan seperti ini.

Ia tidak akan membiarkan mereka merasa tak diinginkan.

Ia akan mencari jalan keluar, entah bagaimana caranya.

Besok, dan besoknya lagi, ia akan tetap berdiri.

Karena bagi Raka, keluarganya adalah satu-satunya yang benar-benar berharga di dunia ini.