Image by Arifur Rahman Tushar from Pixabay

Dani lahir sebagai anak kedua dari empat bersaudara. Kakaknya, Rina, adalah yang tertua, sementara dua adiknya, Fajar dan Riko, adalah anak bungsu dalam keluarga. Sejak kecil, Dani selalu berada di tengah badai pertikaian yang seolah tak berujung. Ayah dan ibunya sering bertengkar, hingga akhirnya perceraian menjadi tak terhindarkan.

Saat Dani masih SMP, ibunya memutuskan menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) di luar negeri, sementara ayahnya tetap tinggal di kampung halaman. Kepergian ibunya seakan menggoreskan luka yang belum sempat sembuh akibat perceraian mereka. Ayahnya meninggal tak lama setelah itu, meninggalkan Dani dan saudara-saudaranya dalam ketidakpastian.

Sebagai anak yang selalu netral, Dani sering dijadikan samsak dalam pertikaian keluarga. Setiap ada masalah, dia yang diminta turun tangan. Dari mengambil akta tanah untuk rumah yang hendak dijual akibat konflik, hingga menjadi penengah di antara saudara-saudaranya yang tak pernah berhenti bertikai. Bahkan saat dia masih kecil, dirinya pernah terpeleset dalam keadaan tergesa-gesa memenuhi permintaan kakaknya yang sedang berselisih dengan ibunya.

Namun, netralitas Dani tidak membuatnya dihargai. Justru, dia sering dipaksa memilih, antara ibu atau ayah. Ketika dia menolak memilih, kakaknya mendesaknya hingga dia jatuh sakit parah saat bekerja di luar kota. Bahkan setelah ibunya pulang dari luar negeri, perlakuan tidak adil tetap berlanjut.

Dani tidak bisa menerima hinaan terhadap ayahnya. Setiap kali keluarga dari pihak ibu mencemooh sang ayah, dia selalu melawan. Namun, perlawanannya hanya membuatnya semakin dijauhi. Dalam berbagai kesempatan, dia selalu mendapatkan pilihan terakhir. Bahkan dalam acara wisata keluarga besar, hanya dirinya yang tidak diajak.

Menjadi penengah hanya membuatnya semakin dijadikan kambing hitam. Jika terjadi perselisihan antara ibu dan adiknya, Dani yang justru disalahkan. Seolah-olah perannya bukan untuk mendamaikan, tetapi untuk dipersalahkan. Bahkan setelah menikah dan memiliki tiga anak, perlakuan keluarganya tetap sama. Ketika salah satu anaknya harus dirawat di rumah sakit, permintaan bantuannya sering diabaikan dengan berbagai alasan. Mereka hanya datang ke rumahnya jika ada keperluan tertentu.

Yang lebih menyakitkan, dalam acara keluarga besar, ibunya lebih memilih menggendong anak kakaknya ketimbang cucunya sendiri. Seakan-akan, Dani dan keluarganya adalah bagian yang paling terakhir diperhitungkan.

Dani terus bertanya dalam hatinya, mengapa semua ini terjadi padanya? Apakah netralitasnya sejak kecil justru membuatnya dianggap sebagai orang yang paling mudah disalahkan? Berbagai luka dan kekecewaan ia pendam, meski hatinya sudah penuh dengan rasa sakit. Kini, dia hanya berharap bisa menciptakan keluarga kecil yang harmonis, tanpa mengulangi kisah pilu yang telah dia lalui.

Namun, akankah bayangan masa lalu terus menghantuinya?