Image by Igor Ovsyannykov from Pixabay |
Saat itu, saya tidak bisa melanjutkan pendidikan. Bukan karena tidak mampu, melainkan karena saya sudah tiga kali keluar masuk sekolah di tingkat sekolah menengah pertama. Alasan saya tidak mau melanjutkan sekolah sebenarnya sederhana—saya muak dengan kondisi di rumah. Orang tua saya selalu bertengkar. Rumah sering kali dijual dan dibeli lagi setelah cekcok, membuat saya merasa tidak memiliki tempat yang benar-benar stabil.
Ketika akhirnya saya memasuki sekolah yang ketiga, saya sempat bertahan lebih lama dan hampir lulus. Namun, sayangnya, pada semester akhir menjelang kelulusan, situasi di rumah semakin memburuk. Konflik yang terus-menerus membuat kondisi batin saya hancur. Saya merasa kehilangan arah. Di usia yang seharusnya diisi dengan menikmati masa remaja dan bersekolah, saya justru dihantam kekacauan di rumah.
Drop Out Dari Sekolah
Tekanan itu memuncak hingga saya mulai bolos sekolah, bahkan hanya mengikuti dua hari dari ujian akhir nasional. Pada hari terakhir ujian, saya dipanggil ke sekolah dan diminta untuk membawa orang tua serta surat DO (drop out).
Saya pergi ke sekolah bersama ayah. Di sana, para guru berbicara kepada kami, tetapi jujur saja, saya tidak benar-benar mendengarkan. Pikiran saya sudah terlalu penuh dengan konflik yang terjadi di rumah. Saat perjalanan pulang menggunakan angkot, saya mencuri pandang ke arah wajah ayah saya. Ada rasa sedih dan bersalah yang menusuk hati saya. Wajahnya dipenuhi guratan kelelahan—bukan hanya karena beban pekerjaan, tetapi juga akibat konflik rumah tangga yang tiada henti. Saya tahu, dalam hati, ia merasa terpukul atas kegagalannya mendidik saya hingga akhirnya saya dikeluarkan dari sekolah di masa-masa terakhir ujian.
Meskipun saya tidak menyelesaikan sekolah, saya sebenarnya tidak pernah membenci pendidikan. Bagi saya, sekolah adalah tempat yang menyenangkan, penuh dengan kenangan indah. Namun, konflik batin yang saya rasakan menjelang kelulusan sudah tidak tertahankan lagi. Saya kehilangan arah dan akhirnya menyerah, terpaksa menerima kenyataan pahit dikeluarkan dari sekolah tepat di saat-saat terakhir.
Bersambung.
Catatan Penting untuk Orang Tua
Sebagai orang tua, kita memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga harmoni dalam keluarga. Setiap kata yang terucap, setiap tindakan yang dilakukan, akan membentuk dunia batin anak-anak kita. Konflik yang dibiarkan berlarut-larut tidak hanya merusak hubungan kita sebagai pasangan, tetapi juga menyisakan luka mendalam bagi mereka yang masih belajar memahami kehidupan.
Bagi anak-anak, cerita ini juga memberikan pelajaran penting. Ketika hidup memberikan tantangan, menyerah bukanlah pilihan. Pendidikan adalah jendela menuju masa depan. Meski keadaan di rumah sulit, tetaplah berusaha mencari kekuatan untuk bertahan dan belajar. Jika lingkungan tidak mendukung, carilah sosok dewasa yang bisa membantu, seperti guru, teman, atau keluarga lain.
Sebagai keluarga, kita harus saling mendukung dan menguatkan. Rumah seharusnya menjadi tempat anak-anak merasa aman untuk bermimpi, tumbuh, dan belajar dari kesalahan tanpa rasa takut. Dengan menciptakan lingkungan yang penuh cinta dan pengertian, kita dapat membantu mereka menjadi pribadi yang tangguh dan siap menghadapi masa depan.
Ingatlah, konflik bisa datang, tetapi penyelesaiannya adalah pilihan kita. Jangan biarkan perbedaan menjadi alasan untuk meruntuhkan fondasi keluarga. Sebaliknya, jadikanlah keluarga tempat untuk saling memahami, mendukung, dan membangun masa depan yang lebih baik—untuk kita dan generasi selanjutnya.
0 Komentar